Kemarin saya mendapat giliran menjemput abang Akbar ke sekolahnya di Sekolah Islam Ibnu Hajar (SIIHA) Katulampa Bogor.
Berangkat dari rumah, sebelum Sholat Ashar dan sampai di kompleks MBR, Mutiara Bogor Raya, sebuah perumahan dekat sekolah Akbar, untuk sholat Ashar. Alhamdulillah, datang tepat pada saat kumandang adzan ashar di masjid Al Madinah.
Dari situ, saya istirahat sebentar untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke sekolah SIIHA. Tak sampai sepeminuman teh, saya sudah sampai. Karena situasi masih sepi, saya beranjak ke lapak pedagang burung di dekat situ dan nongkronglah bicara ngalor ngidul selama hampir 30 menit sembari memantau burung Pentet.
Dari situ saya beranjak ke tukang gorengan, tidak jauh dari pedagang burung tersebut. Hanya berjarak 10 meter menuju ke arah SIIHA. Saya mampir membeli gorengan dan ngobrol dengan empu nya gorengan.
Sebutlah namanya mang Aput. Saya kurang jelas nama aslinya siapa, yang jelas beliau anak dari Mang Hasan. Nama Mang Hasan ini diabadikan oleh google maps dan gambarnya bisa dilihat disini.
Beliau cerita, dulu mang Aput ini gak suka belajar. Seringnya main-main dan sering bantuin bapaknya, alm Mang Hasan, untuk menjajakan gorengan di pinggir jalan.
Al kisah, jualan gorengan ini sudah dilakukan sejak lama. konon sejak tahun 80 an sudah di situ, sejak beliau masih kecil hingga mang aput berkeluarga.
Dari jualan gorengan ini, Mang Hasan (alm) bisa menyekolahkan anak-anaknya dan hidup, alhamdulillah, berkecukupan.
Cukup itu memang relatif. Kadar cukup untuk orang A berbeda dengan kadar cukup dengan orang B.
Mang Hasan, menurut cerita anaknya ini, beliau hanya jualan gorengan saja di pinggir jalan raya katulampa. Setiap pagi, sekitar pukul 7 beliau menjajakan gorengan dan nasi uduk. Banyak pelanggan yang membeli, terutama pekerja dari arah ciawi yang mengendarai motor, selalu mampir membeli uduk dan gorengan.
Biasanya, jika lagi ramai, gorengan dan uduknya sudah habis jam 2 atau jam 3 siang. jika demikian, warung mang Hasan langsung ditutup. Jika belum habis, warungnya tutup jam 5.30 setiap hari.
Alhamdulillah…. cerita mang aput, rejeki yang didapat cukup dan selalu bisa menabung.
Uniknya, pada bulan puasa beliau tidak jualan gorengan. Trus saya tanya, gimana dengan pengeluaran selama bulan puasa, bagaimana menafkahkan untuk keluarga.
Ternyata, beliau selalu menabung uang recehan. uang recehan ini, entah pecahan 100, 500, 1000 an selalu ditabung di celengan. Setelah celengan penuh, maka dibeli celengan baru dan dimasukkan uang recehan tersebut. Itu berlangsung selama 11 bulan selain bulan Puasa.
Begitulah…. ternyata uang hasil tabungan 11 bulan cukup untuk menghidupi 1 keluarga selama 1 bulan puasa. Masya Allah…. satu pelajaran hidup baru saya dapatkan. Ini Qanaah atau CUKUP dalam praktek nyata.
Selain itu, uniknya pula, jika gorengan hari itu masih ada sisa, maka gorengan tersisa di sedekahkan ke tetangga sekitar. “Biar semua mencicipi dan ada keberkahan”, demikian pelajaran dari almarhum mang Hasan.
Pembicaraan saya dengan mang Aput terhenti setelah waktu menunjukkan pukul 17.30. sementara beliau berkemas-kemas, sayapun beranjak ke sekolah SIIHA dan masih menunggu kedatangan Abang Akbar dkk dari ekspedisi pendakian Gunung Gede.
Demikianlah pelajaran singkat hari ini, 12 April 2018, sembari menunggu Abang Akbar, saya mendapatkan pelajaran hidup bagaimana cukup yang sebenar-benarnya. Malu rasanya, muka ini tertampar oleh tangan yang tidak terlihat. Malu rasanya, jika hati ini selalu saja merasa tidak cukup dengan karunia Allah yang diberikan kepada saya.
Astaghfirullah…..
Terima kasih atas pelajaran-Mu hari ini, Yaa Allah. Terima kasih mang Aput telah berbagi cerita yang menginspirasi saya.
SIIHA, 12 April 2018 dari pukul 16.00 – 17.30