Bagi sebagian besar orang yang hobi jajanan atau kuliner minded, semangkuk bubur mungkin tidak terlalu menarik untuk dibahas, terlebih lagi saat ini sudah menjamur jajanan aneka rasa dan aneka bentuk yang tersebar di street corner. Berbeda dengan kami, semangkuk bubur ayam cianjur memiliki kisah unik dan bersejarah.
Alkisah 10 tahun yang lalu, tepatnya di tahun 2004, istri saya mengandung bayi pertama kami. Selama mengandung si jabang bayi, yang kelak lahir dengan jenis kelamin laki laki bernama Akbar, sang ibu terkena sindroma yang umum bagi setiap wanita yang hamil : mengidam.
Pada mulanya saya tidak sadar kalau Nani, mamanya Akbar, mengidam. Karena umumnya mengidam itu aneh aneh dan biasa gak ada di pasaran alias susah dicari. Lha.. Ini dia kepengen makan bubur ayam cianjur, cukup 1 mangkuk saja.
Kenapa sih harus semangkuk bubur ayam cianjur?. Kenapa tidak bubur jenis lain, katakanlah bubur bogor, karena kami berdomisili di bogor. Atau bubur manado, supaya nanti anaknya putih seperti orang Manado.
Cerita soal bubur ayam ini saya harus flasback ke kejadian lampau tatkala kami berdua, sehabis menikah di Jakarta, menetap di Lampung. Sebagaimana layaknya sepasang suami istri muda, kemana mana selalu berdua. Hari sabtu dan minggu adalah hari “kami berdua”. Selama jalan-jalan memyusuri kota Bandar Lampung, kami seringkali melewati lapangan saburai. Lapangan ini biasanya dipakai untuk latihan softball, latihan olahraga, wisata lari dan jalan kaki, dan tentu saja wisata kuliner bubur ayam.
Kami sengaja memilih bubur, selain harganya memang murah, tetapi yang terutama sekali adalah bubur itu mengandung sedikit karbohidrat dan cukup mengenyangkan. Mengapa sih tidak makan sate atau jajanan lain? Tentu saja tidak… Karena sehabis olahraga kami memang tidak mau memakan makanan berlemak. Percuma saja dong program olahraganya. Apalagi Nani selalu menjaga asupan makanan supaya tetap langsing. ceilee….
Kembali ke cerita awal, semangkuk bubur ayam cianjur ini selama kehamilan pertama, istri saya selalu mengkonsumsi bubur tersebut. Kadang 1 mangkuk, kadang nambah. Sampai sampai mamang tukang bubur hafal dengan kami berdua : ” mang… Buburnya lengkap, gak pakai micin yaa..” ujar istri saya, sambil menelan ludah, sudah gak tahan lagi mau melahap si bubur.
Begitulah kisahnya… Cerita ini berlanjut kemarin sore, 23 maret 2014, kami berempat sengaja menyempatkan diri untuk singgah ke tempat tukang bubur ayam cianjur tersebut. Setelah mengantarkan susu murni ke KPS Bogor, saya memarkir kendaraan pick up Daihatsu Carry hitam di dekat tukang bubur tersebut. Terulanglah kisah 10 tahun yang lalu, tetapi dengan jumlah orang yang berbeda. Kali ini kami datang full team, saya dan istri serta kedua anak kami Akbar dan Rahma. Alhamdulillah… Allah SWT masih memberikan nafas dan kesempatan bagi kami untuk menikmati sore hari itu dengan sangat indah. It’s so beautiful moment. “Nikmat Tuhan mana lagi yang kamu dustakan, Zulham”.
bangbarung 24 maret 2014