Handoko Subali, Pendiri tas Elizabeth
Modal awal pembuatan tas Elizabeth tidak lebih dari Rp. 50,000 dengan sebuah mesin jahit tua. Pekerjanya hanya seorang tukang dibantu seorang laden. Istrinya membantu membuat pola dan memotong bahan yang akan dijahit. Setelah jadi Handoko menjajakan barang buatannya sendiri.
Dalam bisnis jangan takut rugi, karena berbagi untung dengan “si kecil”. Berbagi untung dengan “si kecil” malah bisa sebaliknya, yakni menambah keuntungan karena stok barang bertambah sehingga tiras penjualan juga meningkat.
Begitulah prinsip bisnis Handoko Subali, yang kecil hidup berdampingan dengan yang besar. Saling menguntungkan satu sama lainnya, simbiose mutualisma. Yang besar tidak mencaplok yang kecil.
Handoko pernah bekerja sebgai tenaga pemasaran, pada tahun 1960-an, sebuah perusahaan tas dengan gaji sekitar Rp. 10,000 per bulan. Setiap hari, ia berkeliling kota Bandung dengan sepeda tuanya, menjajakan barang-barangnya dari pasar satu ke pasar lainnya. Katanya, “ kadang pesanan sedikit saja”.
Demikianlah, lama kelamaan ia tahu pasar dan bisa tahu keinginan/selera pembeli. Handoko dan istrinya, Elizabeth, berfikir untuk mencoba membuka usaha sendiri.
TRAVEL BAG
Pengusaha yang lahir di Purwakarta 27 Juli 1928 itu memulai usahanya pada tahun 1961 dengan modal hanya Rp. 50,000. Handoko memilih membuat tas perjalanan (travel bag) karena dua pertimbangan. Pertama, selama menjadi salesman, ia banyak memilki kenalan, baik pemilik toko maupun pemilik kios yang menjual tas. Kedua, setiap orang yang bepergian pasti membutuhkan tas.
Ketika penjualan sudah mulai meningkat, Handoko dan istri mulai memikirkan nama dari usaha tas ini. Terpikirkan untuk memberi nama tas Elizabeth, dengan alasan nama tersebut populer karena nama Ratu Inggris dan juga nama tersebut adalah nama istrinya.
Merk Dagang tas Elizabeth terus meroket dan selama hampir 15 tahun penjualan naik terus hingga karyawan dan keluarganya lebih dari 500 jiwa di tampung oleh keluarga Handoko ini. Sebagian dari pekerjanya yang mampu, memisahkan diri dari peusahaan. Namun jika mereka kesulitan modal dan pemasaran, Handoko siap membantu mereka.
KEMITRAAN
Menyadari betapa cepatnya perubahan desain tas, apalagi tas wanita, Handoko dan istrinya tidak jarang berburu model tas hingga ke luar negeri seperti Jepang, Singapura, dan Perancis. Barang-barang import tersebut “dibedah” lalu dibuatkan pola. Dengan ditambahkan beberapa aksesoris, maka jadinya tas bergaya import.
Handoko dalam berbisnis tas Elizabeth mengadakan kemitraan dengan lebih dari 300 orang perajin. Dia tidak takut kehilangan keuntungan karena kalah bersaing dengan 300 anak asuh yang ia bina. Handoko menganggap anak asuhnya yang tersebar terssebut sebagai mitra usaha dalam berbagi keuntungan.
“Prinsip kami sebagai mitra, bagaimana bisa hidup berdampingan dan saling menguntungkan,” katanya. Bahwa kemudian dia mendapatakn penghargaan Upakarti Jasa Kepeloporan 1997, handoko sama sekali tidak menduga.
“Saya tidak tahu apa yang saya kerjakan itu rupanya merupakan bentuk kemitraan yang dianjurkan pemerintah.” Katanya lugu.
MAKIN POPULER
Pikirannya untuk menjalin kerjasama usaha dengan perajin adalah sederhana saja. Melalui kerjasama bisa lebih ekonomis, walaupun diakuinya adak sulit melakukan pengawasan. Bahkan tidak jarang ia harus menanggung resiko rugi.
“Namanya juga orang usaha,” katanya. Ia memberikan contoh bagaimana seorang bekas karyawannya yang kemudian memisahkan diri untuk mandiri ber wirausaha, kabur setelah diberi bantuan modal dan barang.
Handoko tidak gentar. Hingga lebih dari 30 tahun, ia membuktikan bahwa usaha tas Elizabeth nya terus berkibar dan para perajin yang ber mitra menyumbang 70% target produksinya yang mencapai 30,000 lusin per tahun.
sumber: Kompas (Her SUGANDA)